DOSA
Sri Rizki Hardianti
Asap doa yang mengepul di dinding tamiang malam itu
Menguar di langit langit dedaunan sawit
Kata tolong berlari, mencari cari bincang sang Maha Esa
Tuhan, bukankah ini adalah dosa?
Dosa dosa yang berkumpul menjadi kayu kayu lelumpur di tanah tamiang ini
Tuhan, bukankah ini adalah dosa?
Dosa dosa yang membawa bayi bayi ke dalam dingin sungai kayu itu
Siapakah sesungguhnya pencetak bendungan yang marah itu?
Tuhan, sungguh ini bukan marahmu
Ini adalah dosa
Dan sungguh, itu adalah bangkai bangkai penguasa yang kau titipkan
Simalungun, akhir 2025
kikichemist,- Indonesia berduka, November 2025 menjadi bulan yang tidak akan pernah terlupakan bagi bangsa Indonesia. Bencana melanda 3 provinsi sekaligus, Sumut, Sumbar, dan Aceh, menjadi daerah yang penuh dengan darah, bangkai dan air mata dalam sekejap. Rumah-rumah berubah menjadi puing ingatan, harta benda hangus tak bersisa.
Duka ini, begitu dalam dirasakan, banjir yang tak hanya sekadar banjir biasa ternyata membongkar tindakan keji pemerintah yang berjalan mulus selama bertahun-tahun. Ya, deforestasi besar-besaran, alih fungsi hutan menjadi ladang bisnis para pejabat mengakibatkan hutan tercinta kita tidak dapat lagi membendung hujan yang datang.
Zalim, bukankah itu kata yang pantas untuk kita layangkan saat ini? Hewan-hewan, tempat tinggal, manusia, semua menjadi korban dari rakusnya kekuasaan. Entahlah, pemerintah bagian mana yang harus benar-benar bertanggung jawab. Tapi hari ini, tidak ada satupun makhluk yang mengakui kesalahannya, berdalih menjadi makanan paling lezat dan tinggallah tersisa korban tanpa makanan dan tempat tinggal.
Lumpur yang membenam, dingin yang menusuk, gulita yang bergentayangan kian hari kian memeluk para korban yang tiap jam, menit, detik menunggu bantuan datang. Bantuan datang hari ini, tapi sayang bukan dari “Ayah”, “Ayah” lupa kalau anak-anak butuh untuk makan, bekerja, dan mempunyai tempat tinggal yang aman.
“Ayah” bilang, "kita kuat, kita baik-baik saja, tidak perlu di tolong…"
Hari ini, tidak ada yang baik-baik saja, kecuali mereka yang menikmati kekuasaan dengan perut yang hampir meledak. Hari ini, entah apa yang mereka inginkan, bahkan intimidasi meluncur bebas di tengah bencana, di tengah orang-orang yang kelaparan, kedinginan, kegelapan setiap hari. Tuhan, masih bolehkah aku menangis? Dunia ini, sungguh tidak bisa diajak untuk tersenyum.
Bagaimana mungkin menolong orang yang kelaparan dan kedinginan menjadi sesuatu yang sangat salah di negara ini? bagaimana mungkin ada makhluk yang tidak punya hati seperti itu? Aku masih tidak percaya. Aku masih ingin mencari sisi empati di ujung hati mereka, tapi yang kutemui hanyalah gulita.
Kukira aku terlalu naif, dan memandang dunia ini terlalu baik. Jika memang dunia sebaik itu, seharusnya Allah tidak menciptakan akhirat. Ya, sisi baiknya adalah mereka akan tetap menanggung semua konsekuensi kejahatan ini di akhirat nanti, setidaknya itu sedikit melegakan.
Meskipun nanti, kita akan kesulitan mencari hutan dan lebih banyak mendapati sawit, tambang, atau bangunan-bangunan megah yang dibangga-banggakan, semoga kita (seluruh masyarakat Indonesia) bisa berjalan di jalan yang sama, tidak terpecah belah seperti hari ini.



Posting Komentar
Posting Komentar